Beberapa Kesalahpahaman Tentang Imunisasi

 

PD3I merupakan penyakit yang diharapkan dapat diberantas/ditekan dengan pelaksanaan program imunisasi, adapun penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) adalah Difteri, Pertusis, Tetanus Neonatorum, Campak, Polio dan Hepatitis B. Penyakit-penyakit ini timbul karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya imunisasi. Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki pendapat berbeda mengenai imunisasi. Berikut ini adalah beberapa pendapat berbeda yang sering terjadi di masyarakat :

image002
  • Penyakit-Penyakit Tersebut (PD3I) Sebenarnya Sudah Mulai Menghilang Sebelum Vaksin Ditemukan Karena Meningkatnya Higiene Dan Sanitasi

Pernyataan jenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat kasus yang ada pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis.

– Di Inggris pada tahun 1974, cakupan imunisasi menurun drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian.

– Di Jepang pada kurun waktu yang sama, cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40%. Hal ini menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian pada tahun 1979.

– Di Swedia pada tahun 1981, dari 700 kasus meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985.

Contoh diatas jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi, bukan saja penyakit tidak akan menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi dihentikan.

  • Vaksin Menimbulkan Efek Samping Yang Berbahaya, Kesakitan, Dan Bahkan Kematian
image004

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek samping vaksin hanyalah bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar bersifat koinsidens.

Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa resiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).

Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila resiko penyakit dibandingkan dengan resiko vaksin.

Contohnya vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan rubella (campak jerman) :

  • Pneumonia campak: resiko kematian 1:3000, resiko vaksin MMR alergi berat 1:1.000.000
  • Ensefalitis mumps: 1 : 300 pasien mumps. Resiko vaksin MMR ensefalitis 1:1.000.000
  • Sindrom rubella kongenital: 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella

Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus) :

  • Difteri: Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis lama sementara 1 : 100
  • Tetanus: Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang sembuh sempurna 1 : 1750
  • Pertussis: Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko vaksin DPaT ensefalitis 1 : 1000.000
  • Penyakit Penyakit Tersebut (PD3I) Sudah Tidak Ada Di Negara Kita Sehingga Anak Tidak Perlu Diimunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke 10 provinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan, sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun resiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua, imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

image006
  • Vaksin MMR Menyebabkan Autisme

Beberapa orang tua yang memiliki anak autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan. Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi lebih nyata. Meskipun ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat.

Pada tahun 2000, AAP (Australian Associated Press) membuat pernyataan : “Meski kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya. Lembaga lain seperti CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan NIH (National Institutes of Health) juga membuat pernyataan yang mendukung AAP.

Sekian dulu artikel yang membahas beberapa kesalahpahaman tentang imunisasi berikut ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan berguna bagi Anda, baik sebagai informasi, pengetahuan, ataupun pencegahan sejak dini.

Author Info

Klinik

No Comments

Comments are closed.

× Anda Butuh Bantuan?